Senin, 03 Februari 2014

Lucky, cerita mengandung makna


            Hay Lucky, hari ini aku seneng banget. Hayo, coba tebak ada apa hari ini? Yup, aku dapet arisan nih Lucky. Loe tahu arisan kan, masa’ iya jaman gini gaktau arisan, desit banget deh. Jadi gue sama temen-temen satu kelas dari awal semester satu, bikin arisan ala 9C. Ya per-minggunya sekitar enam ribuan. Berhubung yang ikut banyak, jadi lumayan deh buat isi kantong anak sekolahan.
            Sepulang sekolah, aku ke masjid Lucky, buat masukin duit ke kotak amalnya. Itung-itung buat sedekah setelah dapet rejeki. Ya mudah-mudahan aja rejeki yang Allah kasih buat aku hari ini menjadi berkah dunia akhirat. Amin. Oh iya, gue juga jadi semakin seneng nih Lucky, buat menganggap suatu hal yang gak enak/ sebuah kegagalan merupakan rejeki yang ketunda. Soalnya uda gue buktiin sendiri hari ini. Thanks To Allah S.W.T.
            Tapi Lucky, hari ini gue juga merasa menjadi anak yang gak berbakti sama ortu. Jadi gini nih, waktu aku sudah nyampe sekolah, aku baru sadar kalau aku gak pake sabuk. Gak beberapa lama setelahnya mamaku telepon soal itu. Akhirnya papaku yang uda nyampe rumah kepaksa balik buat nnganterin sabukku. Hadeuh, serasa jadi anak yang ceroboh untuk yang kesekian kalinya.
            Yang bikin aku tambah bersalah sama ortu adalah sewaktu pelajaran BK tadi. Bu Kanti muterin film motivasi yang bikin mewek. Kisahnya soal pohon apel dan seorang bocah. Gini ceritanya…

Si pohon mencintai si bocah, begitupun sebaliknya. Bocah itu bermain di dahannya, memakan apel jika ia lapar dan tidur di rerindang pohon itu jika ia lelah. Namun ketika ia sudah beranjak remaja ia sudah jarang lagi bermain bersama pohon. Suatu hari si bocah itu datang ke pohon untuk meminta uang. Si pohon yang tak mempunyai uang menyuruh bocah itu untuk mengambil apel dari pohonnya untuk ia jual. Ia mendo’akan agar si bocah bahagia.
Si bocah lama tak kunjung datang untuk menemui pohon lagi. Setelah akhirnya ia dewasa, ia baru datang kembali. Kali ini si bocah meminta rumah pada pohon, namun karena pohon tak bisa memberikannya, ia menyuruh bocah itu untuk menebang dahannya agar dijadikan rumah. Setelah menebang, si bocah membawa dahan pohon dan iapun pergi. Si pohon tetap mendo’akan kebahagiaan untuk si bocah.
Lama pohon menanti kedatangan si bocah. Bocah itupun datang lagi dan kali ini ia meminta sebuah kapal yang bisa membawanya pergi jauh. Si pohon akhirnya menyuruh si bocah untuk menebang batangnya yang bisa dijadikan kapal kayu. Bocah itu melakukannya dan si pohon tetap mendo’akan kebahagiaan si bocah.
Tahun berganti tahun. Bocah itu akhirnya menjadi tua. Ia kembali lagi pada pohon. Pohon itu kini tak punya apa-apa lagi untuk ia berikan pada si bocah tua. Si bocah tua kini hanya menginginkan tempat yang nyaman untuk menikmati hari tuanya. Si pohon berkata bahwa ia merupakan tempat yang tepat untuk dijadikan tempat duduk sambil menikmati hari tua si bocah.
Pohon itu bagaikan orang tua kita. Dimanakah kita disaat mereka kesepian? Adakah kita disana untuk menghapus air matanya apabila mereka bersedih? Padahal, mereka telah memberikan apapun yang mereka punya demi kita. Mereka yang selalu mendo’akan kita kapanpun dan dimanapun kita berada.

Hue,.. T_T
Gue berasa kayak Malin. Durhaka banget rasanya jadi anak. Mungkin gue udah buanyaaaaaak banget buat salah ama ortu. Karena itu mulai hari ini gue akan berusaha untuk menjadi anak yang berguna dan lebih membanggakan lagi untuk mereka. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar